Minggu, 07 November 2010

Tan Malaka, Revolusioner Indonesia yang Terbuang

Tan Malaka
 Tulisan oleh : Malikkul Shaleh

“Jikalau saya, seorang Soekarno dan Bung Hatta tidak lagi memimpin Bangsa Indonesia ini, maka yang harusnya menggantikan kami sebagai pemimpin bangsa ini adalah orang yang seperti TAN MALAKA,” ujar Soekarno. Tapi DIA tersisih, sendiri, dan dibuang. Namun goresan-goresan pena ide dan gagasannya untuk Indonesia telah menjadi pelipur laranya dari ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Harapannya untuk bisa mewujudkan “Indonesia Merdeka 100 Persen” tersirat sangat dalam dari semua karya-karyanya dan kesaksian-kesaksian sejarah yang terus mencoba mengenali kemisteriusan sosoknya. Harapan itu masih ada (kah?.

Tersamarnya keberadaan Tan Malaka selama setengah masa hidupnya bukanlah karena alasan tuntutan peran politiknya dipuncak kekuasaan, tapi lebih karena tuntutan ideologis, berkaca dari situasi dan kondisi penderitaan rakyat Indonesia saat itu. Konsekuensi ini yang membuat ruang geraknya terbatas, sehingga Tan Malaka harus berjuang dari penjara ke penjara. Bahkan upaya untuk benar-benar menghentikan langkahnya, harus ditempuh dengan pembunuhan dirinya. Hal ini tentu merupakan pengkhianatan kepada pengagas ibu pertiwi yang selalu setia menjadi wakil dari tangisan rakyat. Sejarah telah terlihat dan terungkap hanya untuk para pemenang atau hero, namun tidak untuk seorang Minang yang satu ini, karena kebenaran itu sengaja dikubur dan dibenamkan dilubang kebusukan para penguasa.

Semua karya yang telah ditulisnya adalah inspirasinya yang didapt dari kondisi Indonesia saat itu. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara pencapaian menuju Republik Indonesia telah menjadi pemikirannya dan tercetus sejak 1925 lewat karyanya Naar de Republiek Indonesia. Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya (Anonim, 2010).

Ketika kita mencoba mengenal sosok Tan Malaka melalui karya-karyanya, maka akan tersirat dengan sangat mendalam bahwa beliau adalah seorang tokoh pemikir yang memiliki kemampuan menganalisis dan mencermati segala permasalahan secara subjektif.

Ini terlihat dari ide gagasannya yang memiliki ciri khas dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, Bersifat Indonesia sentris, Futuristik dan Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner (Anonim, 2010 dalam Brainwashed, 1999).

Cara berfikir seperti ini lah yang diharapkan bisa terus berkembang oleh semua orang saat ini, terutama para pemikir-pemikir Indonesia. Cara melihat suatu permasalahan hendaknya tetap memandang nilai-nilai kemanusiaan dan kerakyatan sebagai subjek yang tidak akan lekang oleh dinamisasi ruang waktu. Jangan pernah menganggap bahwa kemajuan zaman telah bisa memasung hak-hak mereka yang tidak mengeti apa-apa. Zaman bisa timbul dan tenggelam, rezim bisa berganti tanpa ada batasan karena tuntutan perkembangan dunia, tapi hakikat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat harus diatas segalanya.(Mn'M)

1 komentar: